Banjarmasin : Perjuangan melawan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya dituangkan dalam baleho-baleho besar atau slogan-slogan yang banyak bermunculan, karena budaya korupsi sangat menjamur di semua lini.
Menurut Praktisi Hukum Angga Parwito, SH. MH., budaya itu terlihat baik di Birokrasi, Penegakan Hukum dan lain-lain. Pihaknya juga melihat korupsi terjadi mulai di Tingkat Pusat yang dibuktikan dengan penangkapan beberapa Pejabat Negara sampai dengan Tingkat Terendas bahkan Desa.
"Bahkan Kita melihat salah satu contohnya masih banyak. Ada penangkapan yang dilakukan oleh Penegak Hukum kepad Pejabat di Level Desa, salah satunya berkaitan dengan Prona, Penerbitan Sertifikat Secara Gratis yang kemudian ternyata dibebani oleh sejumlah uang , yang mengakibatkan terjadinya Tindak Pidana Korupsi," kata Angga.
Disebutkan, pihaknya juga melihat masih banyak Kepala-kepala Daerah di Indonesia yang tersandung Kasus Korupsi, walaupun benner ataupun poster-poster besar yang menyatakan bahwasanya Instansi tersbeut tidak menerima uang sogokan atau pungli.
"Oleh sebab itu, sebenarnya Peringatan Hari Anti Korupsi harus dijadikan Momentum Berubah Menjadi Lebih Baik Lagi. Kita dapat memulai dari tingkatan paling bawah, dari tingkat Keluarga utamanya kita dapat memberikan pemahaman kepada Anggota Keluarga untuk menghindari dan tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi," tegas Angga.
Selain itu, menurut Angga, Kita juga harus bisa memeberikan pemahaman kepada Anak Istri untuk kehidupan agar lebih sederhana dan tidak bermewah-mewahan, karena hal ini juga yang mendasari terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
"Kebutuhan yang semakin besar yang tidak diimbangi dengan penghasilan yang besar, otomatis mengakibatkan Para Pejabat Negara, para pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan bisa melakukan Tindak Pidana Korupsi, akhirnya melakukan Tindak Pidana Korupsi," Angga menambahkan.
Disisi lain, Angga juga menyebutkan, Kita juga harus bisa membedakan antara Hak dan Kewajiban, agar Kita bisa terhindar dari Tindak Pidana atau perbuatan-perbuatan yang mengarah pad Tindak Pidana Korupsi.
"Kita juga harus mengingat, Tindak Pidana Korupsi ini adalah tindak pidana yang ada ketentuan hukumnya dan Kita mempunyai Undang-undang nomer 20 tahun 2001, tentang perubahan atas Undang-undang nomer 31 tahun 1999 tentang Pembverantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang mana sebenarnya sanksi (hukuman) Tindak Pidana Korupsi ini sangat berat," Angga mengingatkan.
Kepada semua pihak, baik Pemerintah, Sipil atau Penegak Hukum lainnya diharapkan agar menghindari tindak pidana seperti ini dan bukan hanya dijadikan sebagai slogan. Karena apabila perbuatan ini hanya dituangkan dalam slogan, tanpa ada realisasi dari Kita, akan menjadi Macan Ompong.
"Oleh sebab itu Kita berharap. Para Pejabat Negara utamanya, baik dari Struktur Pimpinan sampai dengan Level Terbawah, harus bisa memahami Hak dan Kewajibannya. Sehingga dapat menghindarkan dari tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian bagi Negara, baik itu berkaitan dengan gratifikasi, suap dan lain sebagainya," harap Angga.
Untuk Hukuman Mati Bagi Koruptor, menurut Angga, Kita bisa saja melakukan hal itu. Namun apakah Pembuat Peraturan Perundang-undangan ini menginginkan.
"Karena Kita tahu. Bahkan Kita juga memahami ada beberapa Undang-undang yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini malah seakan-akan dikerdilkan dan dilucuti kemampuannya. Oleh sebab itu, Kita masih menyaksikan itu dan Kita juga melihat memang salah satu obyek hari ini yang seringkali menjadi tersangka Tindak Pidana Korupsi ini adalah Oknum Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu, kita menyanksikan (meragukan) apakah Mereka berani untuk membuat untuk mengeluarkan produk semacam ini," tegas Angga.
Namun Angga berharap, suatu saat nanti produk Hukuman Mati Bagi Koruptor bisa dilakukan dan berharap Peraturan Perundang-undangan yang dibuat, merupakan peraturan yang dapat digunakan dan dapat menjadi manfaat bagi Masyarakat dan bukan hanya bagi kepentingannya saja.
Menyinggung Pembelajaran Anti Korupsi di Kampus-kampus, yang ternyata banyak menjadi oknum tersangka Korupsi, Angga menyatakan, hal ini berkaitan dengan kebiasaan. Katanya, pada saat di Kampus, Mahasiswa menjadi Macan untuk menegakkan hukum dan Pemberantasan Korupsi, ternyata pada saat sudah memasuki dunia kerja, menjadi Macan Ompong karena hal ini berkaitan dengan kebiasaan dan tuntutan dari Pimpinan. Disebutkan, banyak teman-teman yang masih mempunyai pemikiran yang lurus, akhirnya masuk ke dunia kerja dan kebutuhan semakin meningkat, dan tuntutan dari kebiasaan yang ada di tempat kerjanya, maka Mereka akhirnya ikut-ikutan atau terseret dalam gelombang Tindak Pidana Korupsi yang telah dilakukan Oknum-oknum Senior Mereka.
"Ini juga harus menjadi perhatian. Jangan sampai Senior memberikan contoh yang tidak baik. Karena hari ini kita melihat ada beberapa Oknum di Instansi yang menyiapkan di bidang ini untuk mencari duit. Harapan Kita tindakan-tindakan seperti ini harus segera dihapuskan," tegasnya.
Menyinggung pencabutan WBK WBBM bagi Kepala Daerah yang terindikasi Korupsi, menurut Angga, pemberian anugerah WBK WBBM tidak berdampak signifikan terhadap tidak dilakukannya Tindak Pidana Korupsi. Karena banyak daerah Zona Integritas yang sudah dinyatakan demikian, baik Lembaga maupun Daerahnya salah satunya terkena korupsi. Oleh sebab itu, menurut Angga, hal-hal seperti ini tidak menjadi acuan. Bila memang Kepala Daerahnya terindikasi Korupsi, maka sah-sah saja anugerah WBK WBBM itu dicabut lagi.
"Karena Tindak Pidana Korupsi itu bukan berawal dari gelar (WBK WBBM) yang disandang oleh suatu daerah. Namun berkaitan dengan integritas para Pejabat Daerah, baik Pemerintah maupun Swasta untuk menciptakan kehidupan yang baik dan tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi," ungkap Angga.
Pencegahan agar tidak dilakukan Tindak Pidana Korupsi, agar Penegakan Hukum dilakukan dengan benar. Harus dipastikan Penegakan Hukum terbeas dari Tindak Pidana Korupsi. Karena seketat apapun perarturan Perundang-undangan yang telah diciptakan, apabila tidak dilaksanakan dengan benar, salah satunya dalam konteks Penegakan Hukumnya, maka akan percuma.
"Karena seseorang tetap akan melakukan itu (Tindak Pidana Korupsi) karena merasa hukum bisa dibeli. Tahanannya bisa dibeli. Jadi Kita juga harus memastikan bahwasanya Penegakan Hukum harus berjalan dengan baik dan saya mengharapkan tidak ada lagi Mafia-mafia Peradilan," tegas Angga.
Dirasakan, Penegakan Hukum di Indonesia masih jauh dari kata sempurna, sehingga hal ini jadi tugas bersama bagi Penegak Hukum, Lembaga-lembaga Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, termasuk Advokat, untuk bersama-sama menciptakan atau menutup ruang untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Sehingga para Pelaku Tindak Pidana Korupsi tidak berani melakukan Tindak Pidana Korupsi tersebut, mengingat beratnya hukuman yang akan dihadapi. Sehingga harus dipastikan, proses Penegakan Hukum jauh dari campur tangan dan kepentingan.(juns)