BANJARMASIN - Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa didekati dengan sains modern jika hanya menggunakan rasio dan panca indra, baik langsung maupun menggunakan alat canggih. Tapi dengan sains Islam, dimana sumber khabar shadiq merupakan salah satu sumber ilmu yang sah, peristiwa tersebut bisa masuk di dalam hati sanubari kita.
Kita renungkan tulisan Dr Budi Handrianto,
Pengajar di UIKA Bogor dan peneliti INSISTS,
berikut ini.
Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad ﷺ, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, dalam peristiwa disebut Isra’ Mi'raj.
Dalam perjalanan Isra’ ini Nabi ﷺ mengendarai Buraq, seekor hewan berwarna putih yang lebih besar daripada keledai tapi lebih kecil daripada baghal (persilangan antara kuda dan keledai). Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan bahwa Buraq ini mempunyai dua sayap
TANGGAL 27 Rajab kita kenal sebagai Peringatan Hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ. Dulu di masjid-masjid sering ada PHBI, Peringatan Hari Besar Islam Isra’ Mi’raj. Ada perayaan, ada ceramah, ada syiar Islam.
Entah mengapa sekarang jarang ada PBHI di masjid-masjid terutama di Kota. Kita jadi kurang menyelami makna hari besar tersebut dan gaung syiarnya menjadi tidak ada. Mungkin karena ada sebagian yang membid’ahkan sehingga orang jadi “takut” melakukannya.
Sebenarnya selain peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 kenabian, ada dua peristiwa penting lain yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, yaitu direbutnya kembali Baitul Maqdis dari Tentara Salib Eropa setelah selama 70 tahun berada di bawah kekuasaan mereka dan Umat Islam di sana mengalami penindasan.
Pembebasan ini dilakukan oleh Tentara Islam yang dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Peristiwa pembebasan Baitul Maqdis terjadi pada tanggal 27 Rajab 583 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1187 M.
Peristiwa berikutnya adalah berakhirnya imperium Turki Utsmani yang sudah berjaya lebih dari 600 tahun ditangan Mustafa Kemal dan berganti menjadi Republik Sekuler Turki. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Tapi dua peristiwa ini tidak hendak kita bahas.
Isra’ Mi’raj merupakan gabungan dua kata Isra’ dan Mi’raj. Isra’, sebagaimana diterangkan di dalam QS al-Isra’ ayat 1, adalah perjalanan malam hari yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ - dimana tentu Allahlah yang memperjalankan beliau ﷺ, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, yang kalau ditarik garis lurus sepanjang 1.350 km.
Dalam perjalanan Isra’ ini Nabi ﷺ mengendarai Buraq, seekor hewan berwarna putih yang lebih besar daripada keledai tapi lebih kecil daripada baghal (persilangan antara kuda dan keledai). Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan bahwa Buraq ini mempunyai dua sayap. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim disebutkan bahwa bila Buraq ini meletakkan kaki depannya maka jaraknya sejauh ujung pandangan mata.
Nabi ﷺ memakai Buraq hanya untuk perjalanan Isra’ saja. Sedangkan Mi’raj menurut hadist riwayat Muslim, Nabi ﷺ diapit tangannya oleh Malaikat Jibril dan dibawa ke langit melalui mi’raj. Mi’raj atau jamaknya ma’arij merupakan mish’ad/thariq ilas sama’, jalan menuju langit.
Dalam QS Al-Ma’arij ayat 4 disebutkan para malaikat termasuk Malaikat Jibril naik (menghadap) Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Nabi ﷺ dibawa oleh Jibril menembus langit pertama, kedua hingga ke tujuh.
Kemudian ketika sampai Sidratul Muntaha, sebuah pohon yang luar biasa besar dan sangat indah, di sebelahnya ada surga, malaikat Jibril berhenti mengantar Nabi ﷺ dan kemudian beliau sendiri langsung menghadap Allah untuk menerima perintah shalat 5 waktu, sebagaimana yang sekarang kita kerjakan.
Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan mukjizat Nabi ﷺ diantara mukjizat-mukjizat yang lainnya. Mukjizat merupakan khawariqul adat, sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Seperti tongkat Nabi Musa dilempar bisa menjadi ular dan membelah laut.
Padahal tongkat pada umumnya tidak bisa menjadi ular dan membelah laut. Maka, mukjizat ini merupakan ranah untuk kita imani, kita yakini kebenarannya. Dari mana kita mendapatkan kebenaran tersebut? Tentu dari wahyu yang kebenarannya 100% kita yakini. Dan atas kebenaran wahyu, kita sam’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat.
Mukjizat fungsinya memperkuat iman dan membuang keragu-raguan. Maka, orang yang mendengar peristiwa Isra’ Mi’raj waktu itu dan imannya masih lemah, ada yang berbalik menjadi kafir (murtad).
Dalam Islam, kebenaran wahyu sudah final. Kita tidak perlu lagi mencari kebenaran, karena kebenaran sudah kita dapat. Beda dengan manusia Barat yang “senantiasa mencari kebenaran”.
Yang kita lakukan kemudian adalah menafsirkan atau menguraikan kebenaran yang ada didalam wahyu tersebut. Dari uraian tersebut kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya, agar kita makin mantap dalam menyakini kebenaran tersebut. Demikian pula dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Sains adalah penjelasan terhadap fenomena alam (description of nature). Dalam filsafat sains modern (Barat) sumber sains yang diakui (channel of knowledge) hanyalah akal (ratio) dan panca indra (empiris).
Maka, sesuatu dikatakan saintifik (ilmiah) apabila dapat diindra atau dapat dibuktikan secara empirs serta masuk akal (rational). Jika syarat sesuatu itu saintifik didasarkan pada dua sumber tersebut, maka pertanyaan: di mana letak dimensi saintifik peristiwa Isra’ Mi’raj? Jawabnya: Tidak ada. Sehingga kitapun tidak perlu mencari-cari segi ilmiah dari peristiwa tersebut.
Jika mata bisa melihat suatu benda karena memerlukan cahaya, maka mata hati ketika melihat kebenaran memerlukan cahaya kebenaran, yaitu wahyu. Jika kita ingin bisa mengetahui peristiwa Isra’ Mi’raj secara jelas seperti kita melihat benda yang bercahaya, maka rujuklah ke wahyu, bukan ke dunia sains, sungguhpun dunia sains sekarang ini sudah sangat maju.
Dalam filsafat ilmu Islam, selain mengakui kebenaran empiris dan rasio, sains Islam juga mengakui satu (atau dua) sumber lagi yaitu khabar shadiq (true reports, kabar yang benar) yaitu wahyu dan keterangan orang yang memiliki otoritas. Satu lagi, kalau mau ditambahkan, intuisi (ilham). Jadi channel of knowledge dalam Islam ada 4: akal, panca indra, khabar shadiq (termasuk wahyu di dalamnya) dan intuisi.
Kita boleh-boleh saja memakai penjelasan saintifik (rasio dan empiris) untuk membantu memahami wahyu, seperti salah satu corak tafsir yang sekarang ini berkembang yaitu tafsir bil-ilmi (I’jazul ilmi). Misal, dahulu kaum muslimin mempercayai begitu saja keterangan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ dengan waktu kurang dari semalam menempuh perjalanan ke Baitul Maqdis sepanjang 1.350 km, yang kalau ditempuh dengan perjalanan mengendarai unta bisa 2 bulan. Tapi sekarang dengan adanya pesawat terbang, kita bisa memberikan gambaran seekor semut yang nempel di tubuh seseorang yang naik pesawat, katakanlah, Jakarta ke Makasar di pagi hari, lalu sore balik lagi Makasar Jakarta.
Ketika si semut menceritakan pengalamannya hari itu bolak-balik ke Makasar tentu teman-temannya banyak tidak percaya. Namun kita tahu itu mungkin saja terjadi. Capaian teknologi pesawat terbang, bahkan sekarang ada pesawat supersonik yang berkecepatan suara, membantu menafsirkan peristiwa Isra’ Nabi ﷺ.
Namun untuk peristiwa Mi’raj sampai sekarang akal kita belum bisa menjangkaunya. Jika perjalanan Mi’raj menggunakan kecepatan cahaya saja dalam waktu semalaman, menurut Prof Fahmi Amhar sebagaimana dikutip kawan saya Ustadz Syukron Ma’mun, perjalanan baru sampai Planet Jupiter, belum ke luar dari tata surya kita, belum keluar dari galaksi Bima Sakti atau Super Cluster Laniakea tempat kita berada.
Kita tidak/belum tahu ukuran kecepatan di atas kecepatan cahaya. Bahkan, ketika kita bisa memberikan contoh dengan si semut naik pesawat, kitapun belum bisa “merasionalkan” Buraq yang dikendarai Nabi ﷺ. Maka, yang patut kita lakukan adalah sami’na wa atha’na. Tidak perlu “memperkosa” ayat/dalil untuk menyelaraskan dengan sains modern atau “mengarang” cerita sains untuk membodohi orang awam.
Intinya, peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa didekati dengan sains modern, jika hanya menggunakan rasio dan panca indra, baik langsung maupun menggunakan alat canggih. Tapi dengan sains Islam, dimana sumber khabar shadiq merupakan salah satu sumber ilmu yang sah, peristiwa tersebut bisa masuk di dalam hati sanubari kita.
Sekali lagi, kalau mata bisa melihat benda karena pancaran cahaya, mata hatipun akan melihat kebenaran dengan cahaya wahyu.
Wallahu a’lam.
*Dr Budi Handrianto*
*Penulis pengajar di UIKA Bogor dan peneliti INSISTS*