JAKARTA - The first casualty of war is truth, korban pertama perang adalah kebenaran. Adagium itu diungkapkan oleh senator Amerika Serikat Hiram Johnson pada 1918 yang kemudian menjadi sangat populer dan sering dikutip sampai sekarang. Ketika perang berkecamuk, maka berita menjadi simpang siur dan kedua pihak saling melakukan klaim. Karena itulah Johnson menyebut korban pertama perang adalah kebenaran.
Tentara Israel sangat paham mengenai hal itu, dan mereka mempraktikkannya secara vulgar dengan menembak mati wartawati televisi Aljazeera, Shireen Abu Akleh, Kamis (12/5). Membunuh wartawan sama dengan membunuh dua sasaran dengan satu peluru, membunuh wartawan berarti sekaligus membunuh kebenaran.
Shireen Abu Akleh, 51 tahun wartawati senior keturunan Palestina dan Amerika sudah meliput konflik Palestina dan Timur Tengah sepanjang karir jurnalistiknya selama puluhan tahun. Ia asli kelahiran Jerusalem Timur, ibunya berasal dari Jerusalem Barat dan ayahnya dari Tepi Barat yang diduduki Israel. Shireen mempunyai kewarganegaraan Amerika Serikat.
Ketika sedang meliput kerusuhan di Tepi Barat, Shireen diterjang peluru tentara Israel dan tewas di lokasi. Ia sudah mengenakan rompi bertuliskan ‘’Press’’ dengan warna mencolok di bagian dada yang sekaligus menjadi pelindung dirinya. Ia diincar oleh seorang sniper yang menembak tepat di bagian punggung yang tidak terlindungi.
Video beredar di seluruh dunia menggambarkan tubuh Shireen terkapar di jalan berlumuran darah. Suara rentetan tembakan tidak berhenti selama beberapa saat sehingga evakuasi tidak bisa dilakukan. Ketika kemudian tubuh Shireen dievakuasi nyawanya tidak terselamatkan.
Dunia mengecam keras kebrutalan Israel. Tagar ‘’Rest in Power’’ menjadi trending topic internasional di Twitter. Dalam tagar itu, banyak netizen Indonesia yang juga ikut berduka. Netizen dunia mengatakan bahwa penembakan terhadap Shireen Abu Akleh oleh tentara Israel adalah sebuah perbuatan biadab.
Israel mungkir dan mengatakan Shireen ditembak oleh orang-orang Palestina, tetapi saksi mata membantah klaim itu. Seorang wartawan kolega Shireen yang ada di lokasi mengatakan tidak ada pejuang Palestina di lokasi itu. Ia yakin tembakan datang dari arah pasukan Israel. Menurut kesaksiannya Shireen ditembak di bagian kepala.
Ini adalah cara Israel untuk membungkam kebenaran. Aljazeera dikenal dengan pemberitaannya yang kritis terhadap Israel dalam konflik dengan Palestina. Pemberitaan Aljazeera yang lebih objektif membuat Israel merasa terpojok.
Keberanian Shireen melakukan liputan live terhadap serangan Israel membuat mata dunia terbuka akan kekejaman tentara Israel terhadap warga sipil Palestina.
Tidak ada cara lain untuk menghentikan Shireen kecuali membungkamnya untuk selama-lamanya.
Ini bukan kali pertama Israel terlibat insiden dengan Aljazeera. Pada sebuah serbuan terhadap tentara Palestina di Gaza, pasukan Israel merudal menara sebuah bangunan tinggi yang dipakai sebagai kantor Associated Press (AP) dan Aljazeera. Israel mengklaim kantor itu menjadi pusat mata-mata tentara Palestina. Aljazeera dan AP membantah tuduhan itu dan menegaskan bahwa mereka sepenuhnya menjalankan tugas jurnalistik.
Aljazeera seperti duri dalam daging yang membuat Israel tidak leluasa melakukan tindakan represif di Palestina. Aljazeera adalah jaringan televisi satelit pertama di dunia yang membuat siaran dalam bahasa Arab non-stop 24 jam sehari. Sejak mengudara pada 1996 jaringannya bisa ditonton di seluruh wilayah Timur Tengah dan kemudian berkembang ke seluruh dunia dengan edisi siaran bahasa Inggris.
Selama ini siaran televisi berita satelit yang bersiaran non-stop didominasi oleh CNN (Cable New Network) milik pengusaha Amerika Serikat Ted Turner. Bias Timur Tengah tidak bisa dihindarkan dalam pemberitaan CNN. Kemunculan Aljazeera menjadi antitesa bagi CNN dan berhasil membalik opini publik dunia mengenai konflik Palestina.
Jaringan ini berbasis di Doha, Qatar, negara kecil Arab, semenanjung yang lokasi geografisnya menjorok ke Teluk Persia dari bagian timur Arab Saudi. Aljazeera, dalam bahasa Arab berarti jazirah atau semenanjung, didanai oleh keluarga kerajaan Qatar.
Aljazeera banyak mempromosikan gerakan demokratisasi di berbagai wilayah Timur Tengah. Ketika pecah gerakan revolusi ‘’Al-Tsaurat al-Arabiyah’’ atau Arab Spring, Aljazeera menjadi media yang paling aktif melakukan liputan. Hal ini membuat gerah beberapa negara berbasis monarki yang takut kekuasaannya akan digulingkan oleh protes rakyat, seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, Suriah, Libya, Yaman, dan beberapa wilayah lain.
Arab Saudi menjadi negara yang paling keras menentang Aljazeera. Hubungan diplomatik kedua negara juga tidak mesra karena berbagai persoalan. Arab Saudi menggalang kekuatan untuk memboikot Aljazeera dengan membujuk para pemasang iklan supaya berhenti.
Boikot dan tekanan tidak menghentikan Aljazeera. Siaran dalam bahasa Inggris membuat Aljazeera membuat mendapatkan audiens yang sangat luas di berbagai negara dunia. Aljazeera memiliki 2.500 anggota staf dan jurnalis dari 40 negara. Jaringannya disiarkan dari empat pusat di Doha, Kuala Lumpur, London, dan Washington DC, serta banyak biro di seluruh dunia. Aljazeera mengklaim layanan berbahasa Inggrisnya menjangkau 100 juta rumah. Layanan bahasa Arabnya memiliki pemirsa sekitar 40 juta hingga 50 juta.
Aljazeera lahir dari sebuah konflik politik internal di Qatar. Pada 1995 Putra Mahkota Qatar Hamad bin Khalifa mengambil alih kekuasan dari ayahnya dan melakukan reformasi di berbagai bidang termasuk media. Putra Mahkota berambisi menjadi Qatar sebagai Swiss versi Teluk Persia.
Publisitas yang masif akan membantu ambisi itu. Putra Mahkota ingin meniru CNN dan kemudian menyewa ratusan jurnalis profesional dari BBC untuk mendirikan Aljazeera. Dalam waktu singkat Aljazeera menjadi sensasi di 22 negara Arab yang sebelumnya belum pernah melihat siaran televisi berita bahasa Arab 24 jam.
Aljazeera menembus kemana-mana. Di Casbah Algiers, di daerah kumuh Kairo, di pinggiran Damaskus, bahkan di tenda-tenda gurun Bedouin dengan antena parabola, saluran itu telah menjadi gaya hidup. Dalam dua tahun Aljazeera mengubah cara konsumsi berita warga Timur Tengah menjadi lebih kritis karena berita-berita yang objektif dan real time. Biasanya media-media Arab hanya menyajikan berita-berita pemerintahan yang membosankan, dan Aljazeera mengubah semuanya.
Gaya laporan jurnalistik Aljazeera yang terbuka dan agresif dari seluruh dunia Arab merupakan pengalaman baru bagi rezim-rezim Arab. Mereka tidak suka dengan pemberitaan yang membingkar praktik-praktik tertutup yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Berbagai boikot dilakukan. Pemerintah Aljazair mencekal koresponden Aljazeera dan tidak mengizinkan melaporkan berita dari Aljazair. Bahrain melarang personel stasiun itu beroperasi dari sana pada 2002 dan 2004. Pada 2001, rudal AS menghancurkan kantor Aljazeera di Kabul
Pada Maret 2008, pemerintah Israel memberlakukan boikot terhadap wartawan Aljazeera yang bekerja di Israel. Otoritas Israel menuduh Aljazeera dengan menunjukkan bias dalam laporannya tentang bentrokan Israel dengan Hamas di Gaza.
Aljazeera tak pelak dianggap anti-Amerika dan juga anti-Israel. Banyak sekali liputan Aljazeera yang menelanjangi kekerasan Amerika di Timur Tengah dan kekerasan Israel di Palestina yang luput dari pemberitaan media lain.
Membunuh Shireen adalah jalan pintas untuk membungkan kebenaran yang dihasilkan oleh media. Tetapi, membunuh Shireen tidak akan menghentikan kebenaran. Bangsa Palestina tidak pernah mundur dalam perjuangan menuntut hak untuk mendapat pengakuan di tanah airnya sendiri. Setiap satu orang tumbang akan lahir seribu orang lainnya. Shireen-Shireen baru juga akan terus lahir dan bermunculan.***(juns)