Pemilu, Gelar dan Narsis

(Ambin Demokrasi)

PEMILU, GELAR DAN NARSIS
Oleh: Noorhalis Majid

Menghadapi Pemilu, banyak caleg berburu gelar. Seolah menambah nilai tawar elektabilitas. Mungkin iya, mungkin pula tidak. Pertanyaannya, seberapa besar pemilih terpengaruh gelar yang berjejer-jejer di depan atau dibelakang nama caleg?. Apakah gelar-gelar tersebut mampu menghipnotis pemilih, bahwa yang banyak gelarlah paling memberi harapan, paling bisa bekerja membawa dan memperjuangkan perubahan?. 

Padahal, kalau pun gelar-gelar itu didapatkan dengan cara benar, bukan membeli apalagi memalsukan, itu hanya bukti bahwa yang bersangkutan pernah sekolah, pernah mengecap pendidikan. Tidak ada hubungannya dengan kemampuannya memperjuangkan nasib rakyat. Kemampuan itu dilihat dari jejak rekam sebelumnya. Apakah sebelum jadi caleg bekerja untuk rakyat, untuk banyak orang yang nasibnya mesti diperjuangkan?. 

Caleg yang memamerkan gelar-gelar secara berlebihan, jangan-jangan sedang menghina pemilih. Mengira pemilih bodoh, mudah terpesona dengan tempelen, aksesoris dan bahkan sekedar pernak-pernik yang tidak substansial.  

Atau sebaliknya, caleg tersebut sedang mengidap narisis – suka manipulatif, merasa diri spesial, hidup dalam dunianya sendiri, haus pujian dan merasa berhak mendapatkan keistimewaan, tanpa pernah memikirkan perasaan orang. 

Namun, sebagaimana pepatah Banjar, orang suka “talihat nang habang, kuning, hijaunya saja”, terpesona dengan yang terlihat gemerlap, dan salah satunya adalah gelar-gelar itu. Sehingga mudah tertipu, padahal tidak menjamin mampu bekerja, bahkan tidak menjamin memiliki integritas dan komitmen. (nm)
Lebih baru Lebih lama