Pancasila dan Pemilu Rakyat

PANCASILA DAN PEMILU RAKYAT
Oleh: Noorhalis Majid

HARI ini, 1 Juni 2023, bangsa Indonesia kembali memperingati hari lahir Pancasila. Pada saat ini, ada satu tema yang hangat diperbincangkan pada berbagai forum dan kesempatan, yaitu apakah Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup atau terbuka?. 

Tentu finalnya masih menunggu hasil MK. Tapi sebelum itu, berbagai spekulatif, termasuk ramalan serta prediksi sudah disampaikan. Seakan mendahului hasil MK, sehingga sedikit banyak menjadi gaduh. Bahkan ada yang berpendapat, bila diputuskan tertutup, akan menjadi kekacauan politik, sebab dampaknya besar sekali bagi pencalegkan. 

Atau, maksud dan tujuan memperbincangkan secara luas di ruang publik, bagian dari strategi advokasi, agar MK tidak sesuka hati menetapkan putusannya, tanpa mendengarkan suara publik itu sendiri. 

Sehubungan hari Pancasila, ada baiknya berbincang sedikit tentang satu sila dalam Pancasila, yaitu sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. 

Sila inilah yang menjadi sumber diselenggarakannya demokrasi dan Pemilu. Sebagaimana umum diketahui, Pemilu merupakan proses memilih pemimpin, dari, oleh, dan untuk rakyat. 

Hak memilih berasal dari rakyat, dukungan suara terbanyak rakyat, menghasilkan perwakilan pemimpin. Pemimpin terpilih, menyusun dan memutuskan kebijakan guna mengatur kepentingan rakyat.

Dengan pemaknaan seperti itu, Pemilu haruslah mengutamakan rakyat, proses serta hasilnya dari, oleh dan untuk rakyat, maka mungkin yang tepat dan mendekati maksud tersebut adalah Pemilu sistem proporsional terbuka. 

Sebab rakyat harus berdaulat atas suaranya. Hak rakyat untuk menentukan tidak boleh dibajak oleh Parpol, dengan mengubah sistemnya menjadi tertutup. Kalau tetap dipaksakan, boleh jadi benar, kekacauan sulit dihindari. 

Apalagi banyak Parpol terlanjur oligarki, mustahil rela posisi pengurus dibagi, dipergilirkan dengan orang yang elektabilitasnya lebih tinggi. Akhirnya lembaga legislatif selalu diisi wajah lama yang tidak pernah bosan, padahal tidak dibutuhkan, dan tidak menjawab maksud dari Pemilu – sirkulasi kepemimpinan.[Junaidi]
Lebih baru Lebih lama