POLITIK: NANG GATAL DAGU, NANG DIGARU SIKU
Oleh: Noorhalis Majid
HAL lainnya yang juga terungkap dalam diskusi Ambin Demokrasi (22/6), pemimpin yang lahir dari kontestasi politik, sering kali melakukan program yang tidak sesuai dengan kebutuhan warganya. Warga butuh ini, tapi yang dilakukan itu. Sekali pun menurut warga sangat urgen, bila tidak sesuai selera pemimpi – sulit terealisasi.
Contoh kongkrit yang terungkap saat diskusi tersebut, banjir besar yang melanda banua beberapa waktu lalu, mestinya menjadi pelajaran berharga untuk menata dan membuat program yang dapat mengantisipasinya, agar resiko tidak semakin besar dialami masyarakat.
Sudah menjadi takdirnya, bila peristiwa becana pernah terjadi pada satu tempat, maka besar kemungkinan pada suatu waktu akan terulang kembali. Lantas, kalau hal tersebut terulang, apa antisipasi yang sudah disiapkan, agar dampak dan resikonya tidak semakin parah?
Hampir tidak ada skema atau peta jalan yang dibuat, sebagai bentuk antisipasi tersebut. Sebab pemimpin asyik dengan agendanya sendiri dan mudah lupa pada apa yang diharapkan warga.
Mestinya, sebab pemimpin lahir dari proses politik, segala yang dilakukannya, harus sesuai kebutuhan warga. Warga inginnya ini, yang dilakukannya juga harus ini. Bukan melakukan hal-hal yang tidak sesuai keinginan warga.
Antara problem dan solusi harus satu kesatuhan. Bahkan yang lebih parah, pemimpin tidak melakukan apapun, hanya asyik dengan serimonial, asyik dengan hobynya sendiri. Dan mendiamkan warga bergulat dengan problem yang dihadapinya. Tidak hadir menjawab dan membantu warga keluar dari persoalan.
Memang, kemampuan menjawab persoalan tidak saja membutuhkan kompetensi, namun juga konsistensi. Dalam satu program, kenapa mesti ada monitoring dan evaluasi, agar terjaga keterhubungan dan konsistensi antara problem dan solusi. Jangan sampai nang gatal dagu, nang digaru siku.[Junaidi]