POLITIK pada dasarnya sederhana, bagaimana mendorong dan mengupayakan semua sendi kehidupan berjalan sehat, adil, tidak diskriminatif, tidak menipu.
Kemuliaan dari politik, terletak pada akal budi, dimana para politisinya mampu berpikir sehat, waras, melihat dan memperlakukan orang lain sebagai sesama. Pada titik itu manusia tidak hendak menjadi penakluk atau takluk terhadap yang lain, tetapi hidup bersama selaku ciptaan Tuhan.
Akal budi tidak dapat dipisah menjadi akal dan budi. Pemisahan itu membuat manusia berpikiran tajam, kritis, namun tidak berbudi. Boleh jadi pintar, tapi tidak punya nurani. Mesti mampu menyelaraskan akal dan budi. Sebab, mengedepankan akal dapat “mamintari” orang lain, bahkan menguasainya. Hanya mengedepankan budi, justru “dipintari” orang lain.
Akal adalah kemampuan pikir dan berpikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki. Berpikir, merupakan perbuatan operasional yang mendorong aktif berbuat demi kepentingan peningkatan derajat hidup manusia.
Budi, merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik buruk segala hal yang ditemui.
Menggunakan akal budi, berarti mampu memikirkan baik dan buruk. Dalam soal politik dan Pemilu, sadar dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, baik sebagai caleg, penyelenggara, atau pun sebagai pemilih. Tidak asal, apalagi tidak mau peduli.
Teori akal budi, sudah dibicarakan sejak zaman Plato di Athena lahir 427 SM dan terus dibicarakan oleh filsuf lainnya, bahkan sebelumnya oleh Parmenides, ahli filsafat Barat, lahir 540 SM, hingga kumudian dirumuskan oleh Rene Descartes dari Prancis, Abad 17, yang intinya bagaimana budi dapat memengaruhi tubuh, sehingga tindakannya bertanggung jawab.
Memilih adalah tindakan tubuh, namun memikirkan secara mendalam terkait konsekuensi dan tanggungjawab di hadapan Tuhan, adalah tentang budi, karena itu tidak dapat dipisah, politik menjadi bermartabat kalau menggunakan akal budi.[Junaidi]