SEKERAS apapun perbedaan pendapat dalam politik, ingatlah bahwa hal tersebut hanya menyangkut pilihan ‘cara’ atau strategi. Bukan soal salah dan benar, apalagi halal dan haram.
Politik itu dalam Islam disebut siyasah, dan menurut Ibnu Nujaim, seorang mufti yang lahir di Kairo tahun 926 H, siyasah itu suatu tindakan atau kebijakan yang dilakukan demi kemaslahatan yang dipandangnya baik, walau belum ada argumentasi terperinci terkait kebijakan tersebut.
Karena merupakan pilihan cara yang dipandang benar, maka perbedaan politik hanya habis di meja perdebatan, tidak sampai menyangkut pribadi, apalagi merusak hubungan perkawanan, persahabatan dan persaudaraan.
Para pendiri bangsa kita sangat dewasa dalam soal berpolitik, sebab mereka paham, perbedaan politik itu hanya soal ‘pilihan cara’, siapa yang paling kuat meyakinkan orang lain tentang pilihan yang dianggap benar, maka pilihan itulah yang ditempuh sebagai cara mewujudkan kemaslahatan.
Tidak jarang setelah berdebat sengit, pulangnya mereka boncengan dengan sepeda yang sama, atau makan sate dan minum kopi bersama. Semua hal yang diperdebatkan, tidak mengganggu hubungan pribadi – tetap berkawan, bersahabat.
Kenapa sekarang perbedaan politik dilanjutkan dengan penistaan pada soal-soal yang sangat pribadi? Tidak ragu mengumpat dengan kata-kata kotor dan tidak pantas. Bahkan, menuduh PKI - tidak beragama, kelompok setan dan iblis. Mungkin ‘keadaban’ dalam politik itu hilang. Padahal, keadaban itu mahkota politik.
Orang bijak mengatakan, ‘kata-kata cermin isi kepala’. Bila kata-kata yang keluar kotor, kasar, berarti isi kepalanya juga demikian. Bila pembicaraan sering menyerempet pada hal-hal yang menistakan, boleh jadi isi kepalanya memang jahat dan kriminal.
Satu-satunya cara mengembalikan ‘keadaban’ politik, adalah dengan menahan diri dan menyadari bahwa politik hanyalah pilih cara – siyasah. Kalau berbeda, tidak perlu menghujat.[Junaidi]