AGAR dianggap berkelas, tingkah polah orang politik tentu saja tidak vulgar atau hitam putih, sehingga tidak mudah ditebak atau gampang menerkanya.
Caranya terkadang tidak langsung, tapi memutar. Seperti main karambol atau biliar, membidik bola tertentu untuk menyasar bola yang lain. Sebab, kalau tembak langsung – to the point, terasa norak. Jalan memutar itulah yang dipilih, agar terkesan elegan.
Padahal, semua yang dilakukan pointnya ingin minta perhatian, berharap dikomentari. Baik berupa pujian ataupun apresiasi. Banyak cara memutar yang dilakukan oleh orang minta tangguh, tergantung kreativitas masing-masing.
Tangguh bukan berarti kuat, hebat, tahan uji. Tapi berarti “tebak”, mengungkap informasi atau kabar tersembunyi. Menebak yang tidak nampak. Minta perhatian, kira-kira begitulah sederhananya makna dari minta tangguh.
Dengan diperhatikan, maka terasa hadir, merasa lebih bermakna. Terasa diorangkan, tidak dianggap patung ataupun benda mati lainnya. Ungkapan Banjar yang satu ini unik. Ekspresinya sering kali sederhana dan tidak nyata.
Minta tangguh, boleh dibilang mendekati kepalsuan. Di dalamnya ada pamer, minta puji, minta perhatian.
Tapi kalau ketahuan, seringkali juga dijadikan candaan. Apalagi bila mudah ditebak maksudnya, ternyata hanya minta puji atau apresiasi.
Celaka kalau semua tingkah polah politik hanya untuk minta tangguh. Akibatnya, berbuat baik sedikit, ingin publikasi luas. Bersikap kritis, hanya ingin dianggap berpihak dan peduli, padahal semua hanya akting - sekedar lakon. Inginnya pencitraan semata, bukan tindakan sebenarnya.
Kalau semuanya hanya kepura-puraan, lalu kapan perbaikan sebenarnya bisa dilakukan?
Atau jangan-jangan telah terjadi dialektika yang sangat kental antara kerja nyata dengan kepura-puraan, dan dialektika itulah yang disebut dengan kerja politik. Di dalamnya ada keseriusan dalam pengabdian, namun juga sarat pencitraan.
Agar yang dilakukan diketahui secara luas, perlu strategi, saat itulah mulai minta tangguh.[Junaidi]