Politik, “UTAK SALUAS KINCING”

BERPOLITIK, kalau pikirannya hanya untuk kesejahtraan pribadi, memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya, maka sungguh tidak penting. 

Banyak fakta, niat terjun ke politik untuk mencari kekayaan - kesejahtraan, padahal sejatinya politik itu bukan lapangan pekerjaan, dia lahan pengabdian membangun kesejahtraan bersama.

Kalau pikirannya hanya untuk kesejahtraan dirinya sendiri, itulah yang disindir kebudayaan Banjar, dengan ungkapan “utak saluas kincing”. 

Pikiran hanya seluas panci memasak, demikian artinya. Hanya memikirkan makannya saja. Menumpuk kekayaannya sendiri, tidak mempedulikan warga masyarakat. 

Setelah duduk di politik, dengan akses yang semakin mudah, membangun kerajaan bisnis. Membeli lahan seluasnya, membangun pertanian, membuat puluhan pom bensin, dan berbagai bisnis yang tidak bisa dilakukan oleh warga biasa karena rumitnya birokrasi, dan hanya mudah bagi penguasa politik.

Padahal politik dan berpolitik itu mestinya untuk menata dan mengelola negara, agar kehidupan bersama menjadi lebih baik. 

Kita hampir kehilangan terladan tentang berpolitik untuk kesehjahtraan bersama. Bung Hatta, ketika dia pensiun, uang pensiun yang diberikan negara, tidak cukup membayar tagihan listrik, air dan telpon. Dia minta Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu, memotong secara langsung gaji pensiunnya untuk membayar tagihan tersebut. Ali Sadikin kaget dan tercenung, kemudian membebaskan tagihan listrik, air dan telpon pada tokoh Proklamator tersebut. 

Pemilu, momentum mengevaluasi kehidupan politik, kata dr. H. IBG Dharma Putra, mantan birokrat yang sarat pengalaman. Dia mengatakan, “pilah calon dalam dua bagian, bagian pertama yang sudah berkuasa. Apakah mereka bekerja untuk kesejahtraan bersama? Kalau tidak, jangan pilih kembali. Kedua, debutan baru yang ingin memperbaiki keadaan. Liat profil dan jejak rekamnya, kalau dia baik maka pilih. Kalau kemudian juga tidak baik, pemilu berikutnya jangan pilih lagi, agar yang tidak becus jadi kapok.”[Junaidi]
Lebih baru Lebih lama