TIDAK sulit menilai yang sudah dikenali. Ketika diketahui sering melakukan kecurangan, menyalip di tikungan, menggunting dalam lipatan, semua orang berhati-hati.
Tapi begitulah politik, selalu saja ada yang memilih jalan curang. Berusaha menang dengan berbagai cara, bahkan cara licik.
Kalau suka main domino atau remi, ada istilah boyang baciri. Boyang atau kartu, sudah diberi tanda. Agar dikenali dan menang main kartu. Tanpa melihat isi kartu, dengan ciri, sudah diketahui isi kartunya.
Kalau peserta lain tahu bahwa kartunya sudah ada ciri. Permainan batal. Kartu dibuang. Tidak layak dipakai. Diganti kartu baru. Karenanya, kartu baru selalu menjadi syarat dalam bermain. Kartunya juga bukan milik salah seorang pemain. Agar terjamin, tidak ada yang memberi ciri dan mendapat untung atas ciri tersebut.
Dulu, di kampung, di pos ronda. Orang suka bermain kartu, khususnya domino. Sekedar mengisi waktu. Hiburan selingan. Yang kalah digantungi baterai, atau dijepit dengan jepitan jemuran.
Banyak yang paham cara bermain kartu. Kartu atau boyang baciri, dipinjam melihat fenomena sosial. Dalam keseharian, ada banyak jenis manusia. Semua memiliki ciri dan sifat. Ada sifat baik, ada pula sifat buruk.
Ada yang memiliki sifat tertentu, suka menyusahkan orang lain. Ingin menang sendiri. Manimpakul. Umpat batang timbul. Track recordnya sudah diketahui tidak baik. Pada orang seperti ini, bila ikut kotestasi, muncul keraguan, sebab sudah diketahui sifatnya, sudah ada cirinya. Terhadap boyang baciri, orang akan berhati-hati, agar tidak terpedaya, tertipu.
Berhati-hatilah menjalani hidup. Segala sifat dan tindakan, selalu dilihat orang. Hidup ini seperti berada di aquarium. Tanpa disadari, ada yang melihat dan mengawasi. Kesalahan, keburukan, menjadi rekam jejak yang sulit dihapus, dan bila melahirkan traumatik, kebudayaan Banjar menyebutnya “ada boyang baciri".[Junaidi]