KALAU belum waktunya, dan masih harus berproses agar menjadi sesuatu, maka jangan terburu-buru, nanti malah tidak sesuai harapan.
Biarkan mengikuti tahapan - sesuai giliran. Walau kesempatan terbuka lebar, apalagi ditunjang fasilitas dan koneksi, lebih baik belajar dulu, agar pada waktunya siap dan matang. Kalau dipaksakan, padahal belum waktunya, itulah yang disindir oleh kebudayaan Banjar, “balum kamir”.
Belum matang, kira-kira begitu artinya. Kamir, istilah adonan kue yang siap untuk dimasak. Membikin roti atau kue apam – kue tradisional banjar, memerlukan adonan jadi setelah diragi.
Kamir, adalah proses alami setelah diragi yang memerlukan waktu. Istilah ini dipinjam melihat fenomena sosial yang juga menuntut proses alami agar menjadi matang. Tidak bisa dipercepat dengan penataran, kursus atau pendidikan instant. Perlu berproses secara alami, membentuk menjadi lebih matang.
Belum cukup ilmu, pengetahuan, pengalaman. Terutama pengalaman berproses. Ketika semuanya belum memadai, namun dipaksakan mengambil posisi penting, bukan saja menyulitkan diri sendiri, tapi juga merugikan masyarakat.
Betapa banyaknya yang menggunakan aji mumpung. Mumpung menguasai jalur, mumpung memiliki akses, lalu mengambil kesempatan - mengabaikan proses. Lebih parah lagi, bila tega memotong kesempatan orang lain yang sudah menunggu sabar dengan proses alaminya.
Kesempatan yang seharusnya dimiliki orang lain yang lebih siap, diambil hanya karena punya koneksi. Aji mumpung seperti ini juga kerap terjadi pada proses politik dan jabatan-jabatan publik.
Lebih arif bila mengutamakan proses, tidak sekedar sukses merebut sesuatu. Kebudayaan memberikan ilustrasi melalui “kamir”, untuk menggambarkan bahwa proses alami harus ditempuh untuk mematangkan sesuatu yang tidak dapat dibentuk secara cepat.
Terutama menyangkut jabatan politik, bukan sekedar posisi dan gengsi, di dalamnya ada tanggungjawab yang harus dijalankan dengan segenap kemampuan, karenanya jangan dipaksa yang “balum kamir”.[Junaidi]