AGAR politik berjalan tertib, dibuatlah berbagai aturan. Aturan dibuat untuk dipatuhi. Setiap pelanggaran aturan, mesti mendapat sanksi, agar semua paham bahwa aturan dipatuhi, bukan sebaliknya dilanggar.
Kalau ada orang yang karena jabatan dan posisinya, dianggap paham betul dengan aturan, lalu melanggar dan bahkan melawannya, tentu satu kesalahan besar. Kalau karena khilaf, cukup sekali melakukannya, setelah itu jangan terulang lagi.
Seorang yang berakal, akan belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan. Tidak bebal. Kesalahan baginya guru paling berharga. Darinya didapati jalan yang tepat. Bila kesalahan terus diulang, berarti bodoh, bahkan memelihara kebodohan.
Kebudayaan Banjar sangat anti terhadap orang yang mempertontonkan kebodohan, karena itu ada ungkapan “bungul jangan dilambak”.
Bungul artinya bodoh. Dilambak, berarti disemai. Kebodohan harus dihentikan, dilenyapkan, jangan disemai, ditebar. Hidup harus semakin baik, berproses untuk terus membaik. Tidak semakin bodoh. Karenanya, harus terus belajar dari pengalaman, melakukan perbaikan, menuju kesempurnaan.
Sudah diketahui umum bahwa kebodohan adalah aib. Mesti disembunyikan, bukan diperlihatkan, agar tidak menjadi pelajaran buruk bagi yang lain.
Apalagi hal-hal yang sudah ditata dan diatur dalam regulasi, sebagai satu kesepakatan dan bahkan konsensus, bila dilanggar, akan nampak sangat bodoh.
Pun aturan-aturan main dalam politik, segala larangannya terang benderang, bagai melihat ikan dalam aquarium. Siapa saja yang melanggarnya, pasti terlihat jelas dan akan mendapat sorotan publik. Melawan aturan-aturan tersebut, seperti memamerkan kebodohan.
Ali Bin Abi Thalib, khalifah yang dikenal berilmu luas, menyampaikan satu pernyataan yang sagat terkenal, “kalau kebodohan itu berwujud manusia, pasti akan aku perangi dan aku penggal lehernya”. Menggambarkan begitu bencinya orang terhadap kebodohan.
Bahwa kebodohan harus dilenyapkan sampai ke akarnya. Jangan dibiarkan, apalagi sampai mempertontonkan dan menyemainya, “bungul jangan dilambak”.[Junaidi]