Politik, “JARA SABAKASAN”

HANYA saat Pemilu baik dan ramah menyapa warga. Usai Pemilu, tidak pernah datang lagi. 

Bahkan lebih parah, yang datang dan muncul hanya balehonya, batang hidungnya tidak pernah hadir, apalagi perhatian dan tindakan, “jara sabakasan” kata seorang warga menceritakan pengalamannya.

Kesan pertama harus menggoda, setelah itu terserah anda. Kalau sudah menggoda, akan mucul minat, perhatian, bahkan fanatisme - yang oleh kebudayaan Banjar disebut “ragap papan”. 

Banyak orang berpatokan pada kesan pertama. Bila perjumpaan kali pertama mengecewakan, pasti setelahnya kurang berkesan dan lalu tidak berkenan. Terlebih kalau kesan pertama mengecewakan, maka yang ada justru “jara sabakasan”. Pun sebaliknya. 

Ungkapan ini seperti menegaskan, jangan coba mengecewakan warga. Kalau sudah kecewa, sanksinya berat sekali, yaitu “jara” atau kapok.

Jara terhadap orang yang mengecewakan tentu boleh-boleh saja, untuk memberikan efek agar tidak terulang lagi dan tidak mudah mengecewakan orang lain. 

Namun, bila “jara” memukul rata semua orang, seolah semua orang sama mengecewakannya, tentu tidak arif dan berlebihan. Apalagi jara terhadap Pemilu, bukan hanya tidak arif, juga lebay. 

Jara dalam politik, mesti diekspresikan dengan tidak memilih lagi yang bersangkutan. Sebesar apapun balehonya, kalau tidak membawa perubahan apapun, bahkan hanya memanipulasi – jangan pilih lagi. Cari yang lain, masih banyak yang baik, berkualitas dan serius bekerja untuk rakyat.

Jara, menggambarkan kecerdasan pemilih. Bahwa pemilih tidak mau dikecewakan, tidak rela dibohongi. 

Kalau harus berjanji, berjanjilah yang sederhana, agar mampu diwujudkan. Tidak perlu janji muluk berlebihan, seolah langit mampu digulung. 

Agar tidak jara, berpolitiklah dengan jujur dan adil. Warga pun demikian, harus jujur dan adil, tidak mudah terpapar money politik. 

Kalau politik selalu menyisakan kisah kekecewaan, kebohongan dan penghianatan, bisa jadi “jara sabakasan”.[Junaidi]
Lebih baru Lebih lama