“KAPIDARAAN”, satu istilah yang khas pada kebudayaan Banjar. Ada yang mengatakan, ini satu jenis penyakit misterius, yang tidak diketahui penyebabnya.
Menurut Hanafi (2017), kapidaraan berasal dari kata pidara, yang artinya arwah atau roh yang sudah meninggal dunia. Kapidaraan dipercaya disebabkan oleh arwah atau roh orang yang sudah meninggal dunia, kemudian menyapa seseorang yang masih hidup, bisa disebabkan karena seseorang tersebut melewati kuburan, tempat angker atau daerah baru yang belum pernah dilewatinya.
Bukan hanya sekedar lewat pada lokasi yang dianggap angker, bisa juga disebabkan salah sikap, salah ucap, atau berbuat yang dianggap tidak berkenan pada tempat tertentu, terutama yang dianggap sakral atau tempat yang dipercaya dihuni berbagai makhluk gaib. Walau kesalahan yang dilakukan tidak disengaja, tetap saja menerima sanksinya berupa kapidaraan.
Kalau demikian halnya, dalam politik orang juga sering sekali salah sikap, keliru berucap, atau berlebihan dalam bertindak dan berbuat, sehingga menimbulkan masalah dan ketersinggungan. Kesalahan tersebut bahkan berakibat fatal, menyebabkan kehilangan peluang untuk menang dalam pertarungan politik.
Berbagai kasus sudah sering terjadi, misalnya ada yang keliru menafsirkan ayat, menafsirkan secara serampangan, padahal tidak memiliki otoritas. Bahkan ada kasus terbaru, sekedar bergurau menceritakan bentuk fanatisme politik, begitu fanatiknya saat melakukan sholat, tidak mau menyebut atau melakukan gerakan sesuatu, sebab dianggap identik dengan satu pasangan capres, pun akhirnya menimbulkan reaksi, dan menjadi persoalan panjang.
Rupanya, bukan hanya pada tempat-tempat angker seseorang harus menjaga ucapan, sikap, kelakuan dan tindakan. Dalam ranah politik ternyata juga demikian. Bila kurang apik menjaga, hal yang dianggap sederhana atau sekedar candaan dan guyonan, dapat menjadi masalah besar yang mengganggu bahkan berpengaruh pada elektabilitas. Jangan-jangan hal seperti itu termasuk “kapidaraan” politik?.[Junaidi]