POLITISI itu mestinya hidup sederhana, secukup sesuai kebutuhannya – bukan menurutkan segala keinginan. Sebab, semua tahu, bahwa segala kemewahan yang dipertontonkan berasal dari uang rakyat.
Bisa dilihat kasat mata politisi yang suka pamer tersebut, Misal, mulai dari gaya berpakai, penampilan fisik dengan rambut klimis, suka plesiran ke luar negeri, hingga menaiki mobil mewah kelas artis, adalah bentuk tontonan yang tidak perlu bagi seorang politisi. Apalagi di tengah rakyat yang masih kesusahan mendapatkan pekerjaan. Rakyat yang sebagian dililit tipu daya pinjol dengan harga kebutuhan hidup yang terus melambung tinggi.
Sekali lagi, hidup sederhana bersahaja jauh lebih membanggakan bagi seorang politisi – karena semua kemewahan itu dibiayai dari keringat rakyat. Dari pada uang rakyat habis untuk mengumbar keinginan, lebih baik digunakan memberdayakan masyarakat. Banyak giat pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya membantu tugas pemerintah, tapi minim dana. Akhirnya tidak banyak yang bisa diberdayakan.
Tapi, godaan memperturutkan keinginan memang sulit dibendung. Merasa hebat, berkuasa, terkenal, popular, petantang-petenteng, yang dalam kebudayaan Banjar disimpulkan dengan satu ungkapan “katuju bakoyo”, adalah penyakit manusia paling purba, yang membuat orang lupa diri. Bahkan lupa pada jati diri dan asalnya.
Karena itu, penting bagi seorang politisi didampingi penasehat yang berani mengingatkan agar tetap sederhana, tetap fokus pada kesejahtraan bersama. Bukan didampingi para penjilat, yang sukanya “maambung bakul”, yang tiap hari memuja tuannya setinggi langit.
Politisi mestinya menjadi contoh, sebab segala bentuk kesejahtraan bersama yang menjadi cita-cita, berpangkal dari dirinya.
Kalau ada politisi sebagaimana contoh cerita di atas, atau naga-naganya, atau gelagatnya “pacang katuju bakoyo”, lebih baik jangan dipilih, sebab pasti tidak membawa kebaikan apapun. Dan warga sama sekali tidak memerlukan politisi nang katuju “bakoyo”.[Junaidi]