“SELINGKUH” Politik

TERNYATA dalam politik juga ada selingkuh. Bagaimana bentuknya?  Caleg DPR RI partai A, tandem dengan caleg DPRD Provinsi partai C, atau tandem lagi dengan caleg DPRD Kabupaten/Kota partai D. 

Alasannya, di daerah tersebut ada tokoh berpengaruh, dan tokoh itu kebetulan tidak satu partai dengan yang bersangkutan. Mau tidak mau harus merangkul, agar mendapat dukungan warga, tempat tokoh berpengaruh tersebut tinggal. 

Alasan lainnya, bukankah warga seringkali juga menentukan pilihan secara zig-zag, tidak tegak lurus pada satu partai. DPR RI pilih partai B, DPRD Provinsi Partai D dan DPRD Kabupaten/Kota pilih partai C. Dengan alasan itulah terjadi “selingkuh” politik. Akhirnya caleg satu partai bukannya saling dukung, justru saling menikam. 

Pun terhadap dukungan Capres, terjadi selingkuh. Partainya dukung Capres B, tapi calegnya justru dukung Capres D. Calegnya ikut berkampanye mendukung Capres yang bukan didukung partainya. 

Warga juga demikian, ketika caleg kampanye satu paket dengan Capres, ada saja warga yang berkata “ulun calegnya pilih pian, Capresnya maaf sudah ada pilihan lain”.

Bahkan ada bentuk selingkuh tingkat tinggi, Partainya di tingkat pusat berkoalisi mengusung Capres - Cawapres D, tapi ketua partai tingkat provinsi atau Kabupaten/Kota justru mengusung Capres C, mengkampanyekan dan mengajak warganya agar memilih Capres C.  Tentu hal ini sangat dilema, karena membingkungkan caleg dan warga pemilih. 

Karena perbuatan tersebut diberi nama “selingkuh”, tentu saja tidak baik. Mengandung resiko dan pasti memiliki konsekuensi. Caleg yang tidak tegak lurus, mestinya mendapat sanksi dari partainya. 

Idealnya tegak lurus dengan komando partai, caleg satu partai beda level saling bahu membahu, sebab satu idiologi partai, satu tujuan. Dengan idiologi dan tujuan itu, dapat ditentukan arah perjuangan partai, termasuk arah koalisi, bukan arah “selingkuh”.[Junaidi]
Lebih baru Lebih lama