BEREDAR hasil survei tentang siapa paling diharapkan menjadi kepala daerah pada Pilkada 2024. Survei tersebut terkesan serampangan dan tidak mendorong pada pencerdasan pemilih.
Serampangan, karena orang yang sudah lama meninggal juga tercantum dalam hasil survei. Dan tidak “mencerdaskan”, karena hanya bicara tentang sosok, bukan ide dan gagasan.
Bicara soal siapa? Sama sekali tidak penting!
Yang lebih “mencerdaskan” adalah, isu apa yang harus dijawab melalui Pilkada?
Pilkada mesti menjadi solusi, bukan sekedar serimonial lima tahunan. Sebab bila tidak, Pilkada yang serimonial, mudah dibeli oleh oligarki. Pertarungan Pilkada tereduksi menjadi bilangan dan angka-angka. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang akan menjadi pemenang.
Pilkada yang “mencerdaskan” itu, ketika terjadi pertarungan ide dan gagasan, guna menjawab persoalan bersama.
Apa persoalan bersama tersebut?
Setidaknya ada 2 hal penting. Pertama, bagaimana mewujudkan kesejahtraan bersama, melalui pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah?
Kedua, “bagaimana pelayanan publik dasar berupa pendidikan dan kesehatan, mampu dihadirkan secara berkualitas, melalui tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih?
Dua hal tersebut, terbukti selama ini gagal, karena sama sekali tidak memberikan kesejahtraan bersama. Justru hanya menguntungkan segelintir orang yang disebut oligarki, padahal sumber daya yang melimpah, mestinya mampu mensejahtrakan semua, sehingga tidak ada lagi gizi buruk, stunting dan miskin ekstrim yang memalukan.
Pun terkait pelayanan dasar, kualitasnya masih rendah, berbiaya mahal. Mestinya pelayanan dasar itu tersaji berkualitas dan “gratis”, sebagai wujud tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, tidak korup, tidak untuk memperkaya diri sendiri.
Kalau wacana terkait Pilkada mampu didorong ke arah ide dan gagasan, bukan “orang”, bukan “siapa yang diharapkan”, tentu akan lebih mencerdaskan, berkualitas dan menjawab persoalan bersama.[Junaidi]