Politik “TAMPULU”

KESEMPATAN tidak datang tiap waktu. Mumpung pada posisi menguntungkan, manfaatkan sebaik-baiknya, jangan sia-siakan. 

Mumpung bisa mengambil kebijakan, buat kebijakan yang dapat memperkaya diri. Mumpung berkuasa, lakukan dan buat keputusan yang berpihak kelompok sendiri. Mumpung ada jabatan, segera rekrut sanak famili. 

Itulah yang disebut “tampulu”, memanfaatkan situasi pada saat berada pada posisi menentukan. Sepadan dengan “aji mumpung”. Melakukan berbagai hal yang berorientasi hanya untuk dirinya, keluarganya, ataupun kelompok kecilnya.
 
Bukan hanya kekuasaan saat ada pada dirinya. Saat ada pada orang lain, juga mencari peluang untuk memanfaatkan. Tampulu kepala daerahnya kawan. Tampulu pengusahanya kawan. Tampulu tim seleksinya kawan. Tampulu urang sakampung jua. Tampulu yang menentukan sanak kerabat, dan sebagainya. Memanfaatkan hubungan atau patron, sehingga mendapat keuntungan. 
 
Keren sekali kebudayaan Banjar memiliki terminology ini, menyindir yang suka mengambil kesempatan saat berada di atas. Menyinggung yang suka menyalahgunakan wewenang hanya untuk dirinya. 

Kenapa harus disindir dengan ungkapan ini? Karena posisi di atas, semisal kekuasaan, sering membuat lupa. Setelah berkuasa, lupa. Lalu bersikap sesukanya, seolah kekuasaan itu tidak dipertanggungjawabkan.
 
Sindiran tajam, menusuk ke jantung yang masih memiliki hati dan perasaan. Karena perasaan atau sensitifitas, mudah mati oleh nikmatnya kekuasaan. Tidak memedulikan lagi kritik, sindiran. Mabuk dengan puja-puji. Dikelilingi para penjilat, yang tugasnya hanya memuji. Dan para pemuji tersebut, boleh jadi juga sedang mengidap sindrom “tampulu”.
 
Ada nada tidak suka, ketika mengucapkan “tampulu”. Karena memang tidak disenangi. Dianggap menghianati sikap keteladanan. Mestinya, setinggi apapun kekuasaan dan jabatan, bersikaplah wajar. Tetap amanah, istiqomah dalam prinsif. Mampu membedakan mana publik - mana privat. Tidak mencampur baurkan, kada sakahandak hati. 

Pun demikian dalam politik, tidak mengidap sindrom “tampulu”, sehingga sesukanya menentukan sajian kebijakan.[Junaidi]
Lebih baru Lebih lama